Jadi Ramuan Inovatif Petani, Kementan Ajak Biosaka Dikaji dan Dikembangkan
- juragantaniantihoa
- May 31, 2023
- 2 min read

Kementerian Pertanian mengajak semua pihak untuk melakukan praktek, mengkaji, dan meneliti elisitor Biosaka. Biosaka, singkatan dari "Bio" yang artinya tumbuhan, dan "Saka" yang merupakan singkatan dari "selamatkan alam kembali ke alam", adalah sebuah ramuan inovatif bukan pupuk yang telah dikembangkan oleh para petani.
Biosaka merupakan campuran pupuk yang dibuat dari ramuan hasil diremes secara manual menggunakan tangan. Ramuan ini terdiri dari minimal 5 jenis rumput atau daun yang sehat sempurna, yang kemudian dicampur dengan air tanpa tambahan bahan apapun. Setelah dicampur, ramuan ini menjadi homogen, harmonis, dan koheren, kemudian disemprotkan ke tanaman.
Penerapan elisitor Biosaka tidak hanya terjadi di Blitar, Jawa Timur, tetapi telah dipraktekkan di 34 provinsi, lebih dari 200 kabupaten/kota, 800-an kecamatan, dan 1.500-an desa di seluruh Indonesia.
Biosaka muncul sebagai bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berasal dari para petani sebagai respons terhadap keterbatasan pupuk subsidi yang tersedia dan tingginya harga pupuk non-subsidi. Dengan Biosaka, para petani tetap dapat memproduksi tanaman mereka untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
Rachmat, Koordinator Padi Irigasi dan Rawa dari Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, menjelaskan bahwa pengkajian dan penelitian terhadap elisitor Biosaka telah dilakukan. Namun, perlu dipahami bahwa praktek yang dilakukan oleh petani tidak sama dengan yang dilakukan oleh para peneliti di lembaga penelitian atau universitas yang memiliki keahlian dan sumber daya yang memadai.
Secara sederhana, petani membuat perbandingan antara lahan yang menggunakan Biosaka dengan yang tidak menggunakan. Ada yang tetap menggunakan pupuk seperti biasa, ada yang mengurangi penggunaan pupuk sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing, dan ada pula yang membandingkan kondisi sebelum dan setelah menggunakan Biosaka. Dalam proses ini, petani membuktikan sendiri manfaat yang mereka rasakan, efisiensi yang terjadi, serta peningkatan produksi yang dicapai.
Baca juga:
Rachmat menegaskan bahwa petani tidak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai ilmu pengetahuan dan teknik percobaan seperti para peneliti. Yang mereka pahami adalah manfaat yang mereka rasakan dan pengalaman di lapangan. Oleh karena itu, peran para peneliti dan akademisi sangat penting dalam mengkaji Biosaka secara lebih komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan.
Kementan memberikan apresiasi kepada para peneliti dari berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta, yang akan melakukan penelitian lebih lanjut terkait Biosaka. Dengan adanya penelitian ini, misteri seputar Biosaka diharapkan dapat terjawab secara ilmiah.
Lebih lanjut, Rachmat menjelaskan bahwa Biosaka telah diaplikasikan oleh petani pada berbagai komoditas pertanian, termasuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Biosaka ini bukanlah pengganti pupuk, sehingga petani masih tetap menggunakan pupuk. Namun, penggunaan Biosaka dapat membantu petani mengurangi pengeluaran karena kandungan nutrisi makro dan mikro dalam Biosaka lebih rendah, sementara kandungan senyawa fitokimia dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) cukup tinggi.
Perlu dicatat bahwa setiap Biosaka yang dibuat memiliki kandungan yang berbeda, tergantung dari tanaman yang digunakan sebagai bahan baku. Oleh karena itu, Biosaka tidak dapat distandarisasi dan diproduksi secara massal. Petani membuat Biosaka sendiri dengan melakukan percobaan di lahannya sendiri menggunakan modal dan sumber daya yang mereka miliki. Kemudian, hasil dan manfaat yang mereka rasakan akan tersebar melalui interaksi dan saling berbagi pengalaman di antara mereka.
Biosaka merupakan inovasi yang menjanjikan dalam pertanian. Melalui penelitian yang lebih mendalam dan pemahaman yang komprehensif, diharapkan Biosaka dapat menjadi alternatif yang efektif untuk meningkatkan produktivitas pertanian, mengurangi ketergantungan terhadap pupuk subsidi, dan mendukung keberlanjutan pertanian di Indonesia.
Comments